MAROEBOEN

Maroeboen adalah nama sebuah Partuanon di Harajaon Tanoh Djawa, Simaloengoen pada masa jaman Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.

Minggu, 05 Agustus 2012

5 Ruhut Ni Goluh


Ditulis kembali oleh : M Nur Irwansyah Sinaga, SH




Tuntunan Hidup Leluhur Tanoh Habonaran Do Bona Simalungun
1. OPPU OPPU (Marguru Na Bonar)

Marguru Na Bonar. 
Bermakna, Belajarlah pada Kebenaran Hakiki, Kebenaran yang Memuliakan; 
Bergurulah pada Seseorang yang Tercerahkan. Pitutur ini berlapis dan kompleks.

Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai “guru”. Kepada alam, dunia hewan, dunia tetumbuhan, pergaulan dengan sesama manusia, pengalaman orang lain, kitab suci, guru di lembaga pendidikan formal, guru agama atau pribadi tertentu yang memiliki intelegensia dan tuah tertentu. Semua hal tersebut bisa dijadikan guru. Karena kita mendapatkan hikmah, pengajaran, perbandingan, peringatan sehingga kita bisa memperbaharui diri kita. Kata kuncinya ‘memperbaharui’ diri.

Tentu hubungan ini tidak statis, artinya ada upaya di dalam diri untuk melakukan ‘pemberdayaan diri’ sehingga kita menjadi pribadi yang lebih matang dan bahagia. Maka bergurulah kepada banyak hal.

Belajar atau berguru kepada banyak hal, atau kepada orang tertentu bertujuan agar kita mendapat bimbingan, petunjuk cara memberdayakan diri sehingga kita menjadi manusia yang utuh. Manusia yang menyadari dirinya tidak terpisah dengan yang lain. Menyakiti sesama berarti menyakiti kehidupan itu sendiri. Merusak alam berarti akan merusak kehidupan manusia itu sendiri, karena adanya hubungan timbal balik, ada hubungan saling memengaruhi yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Maka guru masa lampau, tetua, Par-Tuha sering menasehati, jika tidak ingin disakiti orang lain, maka jangan menyakiti mereka. Ada pesan moral di sini yang menekankan saling keterkaitan itu. 
Merusak hutan... maka akan berpengaruh kepada kehidupan manusia itu sendiri.

Marguru Na Bonar menurut pemahaman penulis berarti, menghormati nilai universal. Nilai yang dapat diterima semua orang, karena semua mahkluk menginginkan kebaikan yang sama pula. Misal hal yang tidak diingini banyak makhluk; meninggikan kelompok sendiri dan menindas atau menekan kelompok lain, ini namanya egois. Egoisme bisa berlaku universal namun bukan nilai universal. Melakukan kebaikan hanya bagi kelompok sendiri namun merendahkan kelompok orang lain, ini juga egois.

Marguru Na Bonar berarti melampaui keegoisan. Na Bonar itu untuk semua mahkluk – perlu intelegensia di sini. Tidak bisa ‘kebenaran’ itu diterjemahkan untuk diri sendiri saja, ini namanya egois.

Marguru Na Bonar bermakna melampaui keegoisan, memuliakan manusia dan menegakkan kebenaran universal; sifatnya mempersatukan, meninggikan, memuliakan, mengutuhkan, mendorong, memperbaiki, mengobati, memperbaharui sehingga manusia memperoleh kebahagiaan – memuliakan manusia dan kemanusiaan.

Sehingga Marguru Na Bonar berarti mengaktifkan satu ‘fakultas’ di dalam diri manusia yang memampukan manusia memiliki ‘ketepatan berpikir, ketepatan berbicara, ketepatan bekerja, ketepatan melakukan hubungan sosial’. Artinya lagi, bila cara berpikir kita selalu mengacau, salah, egois maka belum Marguru Na Bonar. Bila berbicara selalu sembrono, selalu menyakiti orang lain, tidak bijak, berarti belum Marguru Na Bonar.

Bila bekerja selalu merugikan orang lain, bekerja hanya untuk kepentingan diri saja, maka berarti belum Marguru Na Bonar. Bila kita memiliki hubungan sosial, pergaulan dengan orang-orang maka cepat atau lambat dapat menutupi nurani, melemahkan pikiran sehat, maka berarti belum Marguru Na Bonar.

Jika hanya berpengetahuan akan ‘kebenaran’ saja maka hal tersebut tidak menjamin kita telah Marguru Na Bonar?

Pada penjelasan berikut akan kita dapati mengapa Marguru Na Bonar ini sebagai langkah awal menuju kebahagiaan? Bagaimana mamaknai secara tersirat dalam Pitutur Marguru Na Bonar itu?

Kata kuncinya adalah Hukuman dan larangan tidak selalu efektif dalam mendidik manusia. Manusia memiliki kecerdasan yang mesti diolah.

Pada masa lampau, struktur huta (kampung/desa) tradisional senantiasa memiliki seorang Guru. Pada unit terkecil seperti sebuah ‘huta berbenteng’ pada masa lampau sistem kekerabatan dalam suatu huta selalu memiliki seorang Guru yang diperankan “Tondong” (kepala rumah tangga sebuah huta). Dari berbagai huta, jejaring huta secara bertingkat pun memiliki seorang guru, pembimbing.

Pada masa lampau leluhur Simalungun, seorang yang memiliki peran sebagai “Tondong” di sebuah huta berbenteng, pasti memiliki Pedoman Prilaku sebagai Tondong. Proses belajar dan mengajar itu merupakan satu paket. Artinya si Tondong pun memiliki pedoman, kitab, guru yang mesti di pahaminya untuk menjalankan perannya sebagai Tondong, Guru dalam huta itu bisa berjalan dengan baik. Sehingga huta itu beroleh kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan. Fungsi Tondong pada struktur masyarakat pada masa lampau adalah berperan sebagai Guru Huta – naibata na taridah, si pangajari.

Marguru Na Bonar berarti, ada proses “pemberdayaan diri” (makna kekinian) agar potensi manusia itu bisa dimaksimalkan lewat proses berguru, magang, pedoman prilaku yang ditetapkan seorang Guru, lewat tradisi dll..

Tujuannya agar memanusiakan manusia itu sendiri, sehingga ada kesadaran universal. Manusia terhubung dengan entitas kehidupan yang lain. Manusia menjadi bijak, agar bisa saling asah, asuh dan asih.


2. DIDIHIL (Maruhur Na Bonar)

Maruhur Na Bonar, penulis maknai sebagai kemampuan untuk ‘Berpikir yang Tepat’. Cara pandang yang tepat. Kenapa penulis terjemahkan demikian? Karena kata ‘maruhur’ di sini bukan sekedar merenung, berpikir sembarang atau spontan saja. Maruhur Na Bonar atau Berpikir Tepat, berarti ada kecerdasan yang lebih tinggi telah bekerja. Bukan karena intelektualitas pengetahuan semata, tetapi karena intelengensianya telah bekerja memiliki pengalaman hidup yang membuat kita lebih bijak dan bijaksana. Jadi tidak sekedar berpengetahuan saja. Namun hakekat kebenaran itu telah menjadi bagian dari dirinya. Tidak munafik.

Makna Maruhur Na Bonar berarti memiliki kestabilan emosi (mental emosional) yang telah matang, telah terbangun dengan baik. Maruhur Na Bonar berarti telah memiliki intelegensia seperti yang telah kita jelaskan di atas, memiliki pengalaman hidup dalam menghidupi kebenaran universal. Ada pengalaman pahit, susah, trauma dan lain-lain, namun ada pula pengalaman suka cita. Dua pengalaman; baik dan buruk, keduanya diterima sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa ditolak salah satunya. Baik dan buruk diterima dengan lapang dada. Intelegensia lah yang membuat manusia mampu menerima dua kenyataan hidup ini.

Maruhur Na Bonar berarti memiliki cinta, memiliki kepedulian, memiliki semangat untuk berbagi, semangat melayani, semangat kebersamaan. Jika tidak, hanya akan sekedar memiliki kemampuan otak yang tajam saja, namun tidak memiliki nurani. Setelah memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan maka kita bisa berpikir tepat.

Maruhur Na Bonar lewat bimbingan seorang Guru yang mumpuni tidak akan menjadikan seseorang itu sembarangan bicara karena hidupnya telah menjadi teladan, kitab yang hidup. Inilah kualitas seorang Guru, Par-Tuha masa lampau. Marhur Na Bonar hanya bisa terjadi bila bertemu dengan seorang Guru Na Bonar – Parhabonaron. Ini merupakan tahap demi tahap.


3. DANGSINA (Marhata Na Bonar)

Marhata Na Bonar berarti Berbicara yang Tepat. Ketika berbicara kita tidak mengabaikan etika, maka yang terjadi adalah rentetan masalah – pembuat masalah. Marhata Na Bonar, berbicara yang tepat hanya bisa terjadi jika kita sudah Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar. Ucapan adalah ekspresi paruhuran na bonar, ekspresi intelektualitas yang tepat dan intelegensia.

Ketika kita hendak berbicara, nurani kita langsung bekerja, intelegensia kita menuntun. Ini ciri orang yang sudah Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar.

Jika masih berbicara mengikuti emosi, tanpa pertimbangan, berarti belum Marhata Na bonar. Perkataan adalah ‘buah’ dari intelektualitas dan intelegensia kita. Banyak orang yang tidak memiliki intelektulitas (berpengetahuan seperti sarjana) namun memiliki sopan santun dan kebijaksanaan. Dengan pengetahuan yang terbatas dan sederhana pun bisa menjadi parhata na bonar. Bahwa intelegensia itu tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tinggi. Sebab, ada kecenderungan berpendidikan yang tinggi akan memiliki ‘ego’ yang lebih halus.

Perkataan adalah buah atau ekspresi yang ada di dalam diri. Meskipun manusia bisa memanipulasi perkataannya seolah ia sudah berkata yang benar namun ia bisa dinilai dari caranya bertindak dan bergaul. Kebohongan, kepalsuan tidak bisa ditutupi selamanya.


4. TUTUDUH (Marhorja Na Bonar)

Marhorja Na Bonar, Bertindak yang Tepat. Sekali lagi, ucapan dan tindakan adalah ekspresi ‘kesadaran’ kita. Apa yang ada di dalam diri itulah yang akan kita ekspresikan ke luar, apakah lewat ucapan atau tindakan.

Bukti bahwa kita telah marguru na bonar, maruhur na bonar, marhata na bonar adalah kita akan marhorja na bonar – bertindak yang tepat. Sudah bisa memilah mana tindakan yang tepat dan mana yang tidak. Ketepatan di sini berarti berguna bagi diri sendiri dan orang lain bahkan lingkungan.

Tindakan yang tepat berarti mengamalkan etika, aturan, pedoman prilaku, hukum, kejujuran, keberanian dan lain-lain. Nyatanya pada banyak situasi kita membutuhkan keberanian dan kekuatan mental untuk melakukan suatu kebenaran universal meski akan dijauhi oleh orang-orang (kumpulan orang) yang egois.

Saat ini kita membutuhkan kekuatan hasil berguru pada kebenaran hakiki, hasil paruhuran na bonar, perkataan yang tepat, untuk bisa melakukan tindakan yang tepat. Ya, sebuah tindakan yang tepat membutuhkan keberanian, integritas, komitmen yang sudah terbentuk dalam diri.

Masyarakat yang dipenuhi manusia yang tanggung dalam proses pembelajaran, proses marguru na bonar hanya akan menciptakan masyarakat yang sakit dan munafik saja. Hal ini bisa terlihat dalam kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Yang terbentuk hanyalah sebuah masyarakat yang berisik, penuh konflik laten, munafik dan kebohongan massal. Ibarat badan tanpa jiwa. Ini diakibatkan proses pedoman pertama hingga ke empat tidak terjadi secara baik dan tepat. Sehingga kita menyebutnya masyarakat yang sakit! Bad Company (Pergaulan yang buruk)

5. TUTUALANG (Marsaor Na Bonar)

Marsaor Na Bonar bermakna Pergaulan yang Tepat. Maka ada anjuran Par-Tuha, bergaul lah dengan orang bijaksana, bergaul lah dengan orang yang tepat. Jangan asal bergaul jika tak ingin celaka. Seberapa kuatkah kita mempertahankan kewarasan diri bila lingkungan kita dipenuhi oleh para pecandu narkoba, misalnya? Seberapa kuat dan lamakah kita bisa tetap waras dan sadar bila berada di dalam kumpulan orang yang senang berbohong, munafik, egois, dan fanatik dengan cara pandang mereka saja? Jawabannya, pasti tidak lama! Karena cepat atau lambat lingkungan akan mempengaruhi kita. Maka cepat-cepat lah memilih sebuah lingkungan kecil yang bisa menjadi benteng terhadap pengaruh lingungan yang tidak menyehatkan.

Maka pilih lah guru yang tepat. Guru di sini kita maknai apa pun yang bisa menginspirasi kita sehingga memiliki kekuatan untuk mempertahankan kewarasan diri.

Marsaor Na Bonar, kita maknai sebagai lingkungan yang tepat. Lingkungan yang menjadi support grup kita agar kita saling asah (saling memperkaya), asuh (saling mengajari) dan asih (saling mengasihi) demi memuliakan manusia itu sendiri. Bila ketiga hal ini (asah, asuh dan asih) tidak ada dalam kelompok kita maka penyakit lama manusia akan segera tumbuh subur berupa: arogansi, kepicikan, separatisme, konflik, dan kemunafikan dll..

Dalam bahasa Buddha Gotama, ini namanya Sangha. Kumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama untuk Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar, Marhata Na Bonar, Marhorja Na Bonar pakon Marsaor Na Bonar, on ma goranni Huta Habonaron Do Bona. Huta na mangkahagoluhkan habonaron ibagas tiap pikkiran, parhata pakon horjani.

Saya tidak pernah ragu, bahwa masyarakat pendahulu Simalungun telah mencapai keadaban dan peradaban yang tinggi. Hal ini bisa dilacak dari banyaknya pitutur luhur yang tersimpan dalam berbagai tradisi lisan dan tulisan yang masih ada.

Demikianlah penafsiran saya akan 5 ruhut hagoluhan di atas, semoga bermanfaat. Diatetupa ma.

Penulis :

RONI SUMBAYAK

Sauhur Simalungun, Sauhur Indonesia, Sauhur Sabdunia on.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar