MAROEBOEN

Maroeboen adalah nama sebuah Partuanon di Harajaon Tanoh Djawa, Simaloengoen pada masa jaman Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.

Jumat, 10 Agustus 2012

Penelusuran Situs Kerajaan Tanoh Jawa


Oleh :  M Nur Irwansyah Sinaga SH

 Pagi itu tanggal 1 Mei 2011, sambil menunggu rekan-rekan yang akan ikut menemani menelusuri situs Harajaon Tanoh jawa, kami menyantap, sarapan yang disediakan hotel tempat kami menginap. Selesai sarapan kamipun siap berangkat karena rekan-rekan yang ditunggu sudah pada kumpul.
Saya, Suhu Omtatok, Ida Damanik Halanita, Mahdani Sinaga, Farrah Aqiela Sinaga putri bungsu saya serta seorang supir dengan menggunakan mobil botou Ida Damanik meluncur di jalanan  kota, sesampainya di Pasar Horas Pematang Siantar kami berhenti untuk membeli keperluan yang dibutuhkan.
Perjalananpun dilanjutkan meninggalkan kota menuju arah Tanah Jawa, sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Simalungun, Prov Sumatera Utara.

Setengah jam perjalanan tibalah kami di daerah Kecamatan Tanah Jawa, mendapatkan simpang jalan disebelah kanan, Mahdani Sinaga memberi aba-aba kepada supir utk membelok. Suhu Omtatok minta berhenti untuk keluar dari mobil, sayapun turut keluar dari mobil dan inilah pertama kali saya menjejajakkan kaki diwilayah ini. Saya mengeluarkan kamera Slr dan membidik kearah nama jalan yaitu Jalan Sangmajadi. Sangmajadi adalah nama Raja Tanah Jawa ayah dari pemangku Kerajaan Tanah Jawa terakhir yaitu Raja Kaliamsjah Sinaga.

Kiri : Jalan Sang Majadi, kanan: Mesjid jamik bekas tapak Istana Kerajaan Tanah Jawa

Kemudian kami menelusuri jalan tersebut lebih kurang 100 meter kedalam sampailah kami di Mesjid Jamik. Dahulu tapak mesjid ini merupakan Istana/Rumah Bolon Kerajaan Tanah Jawa yang dibangun ketika Raja Djintar diangkat menjadi raja karena Istana yang lama di huta Pamatang Tanoh Jawa (biasa disebut Pamatang) sudah tidak layak lagi di jadikan istana karena sudah sangat tua dan sudah dihuni sampai 3 generasi dan tempat bangunan yang baru istana ini disebut huta dipar (desa diseberang). Pada tahun 80an oleh seluruh keturunan kerajaan Tanah Jawa sepakat lokasi ini dibangun mesjid karena istana sudah hancur dan rubuh.
Kami lanjutkan berjalan kaki ke samping mesjid lebih kurang 50 meter kami sampai di lokasi pemakaman yang di bertembok batu bata keliling kira-kira 9 x  15 m dan berpintu besi, kelihatan dari luar tembok baru di cat dan makam didalamnya baru dipugar berlantai keramik dan makam-makam yang ada di dalam juga di beri keramik berwarna hijau.
Informasi yang kami terima bahwa orang terpenting di Simalungun ini yang membiayai pemugaran makam ini. Setiba didalam makam kami berziarah ke makam opung Sangmadjadi Sinaga dilanjutkan ke makam yang lainnya, diataranya makam puang salak dan Tuan Kalam.

Budayawan Suhu Omtatok & Mahdani Sinaga membersihkan makam dan memberi hormat di Makam Op Sangmadjadi

Selesai ziarah kamipun naik ke mobil yang diparkir di mesjid dan melanjutkan perjalan, sopir mengarahkan kendaraan kembali kejalan raya dan berbelok kekanan, tak jauh berjalan kami mendapatkan kantor Kecamatan Tanah Jawa dan atas petunjuk rekan mobil berbelok ke kanan jalan yang berada disamping kantor kecamatan kemudian melewati jembatan sungai Bah Kisat sampailah kami di areal kebun sawit dan mobil berhenti, kami disambut oleh 2 orang yang masih keturunan dari keluarga Kerajaan yang bernama Ando Sinaga (Fernando) dan Okki Sinaga . Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Kami menelusuri kebun sawit yang sudah berumur 20 tahunan yang rindang membuat perjalanan lumayan sejuk walau jalan sedikit mendaki. Disepanjang jalan banyak ditemukan pecahan keramik/guci kuno berdasarkan informasi dulunya guci/keramik kuno ini adalah barang barang milik kerajaan/istana yang pada masa revolusi sosial tahun 1946 oleh pasukan Barisan Harimau Liar (BHL) istana di geledah mencari raja dan keluarganya untuk dibunuh dan harta benda yang terdapat diistana dirampok, sebahagian barang-barang tersebut yang terbuat dari pecah belah hancur dan berserakan di sepanjang jalan.

Bunga kamboja putih dibatu nisan Puang Bolon Namartuah boru Damanik (foto Farrah Aqiela br Sinaga)

Iringan rombongan kemudian berbelok kekiri mengikuti pemandu jalan oleh 2 orang sinaga tempatan tersebut. Setelah menerobos ladang jagung sampailah kami disebuah makam. Ando Sinaga  mengatakan ini adalah Jerat Baggal (makam besar) tetapi dia tidak tau siapa yang dimakamkan disitu karena dari dahulu mereka pantang menyebutkan nama orang yang paling dihormati sehingga generasi berikutnya tidak mengetahuinya, setelah berziarah dijerat baggal kami melanjutkan ke makam didekatnya. Menurut Suhu Omtatok (budayawan) makam ini adalah makam seorang wanita tetapi melihat batu nisannya (nisan kuno) menandakan yang dimakamkan disini adalah seorang raja sementara Ando Sinaga dan Oki Sinaga juga tidak mengetahui siapa yang dimakamkan disitu, dibatu nisan tidak ada tertulis nama orang yang dimakamkan tersebut. Ando Sinaga mengatakan makam yang satunya lagi adalah makam Raja Djintar, tidak salah lagi berdasarkan data yang ada sama penulis Raja Djintar dimakamkan didekat nininya puang bolon namartuah boru  Damanik yang pernah menjabat sebagai pemangku Kerajaan Tanah Jawa selama 2 tahun karena raja  meninggal dunia dan tidak jauh dari makam tersebut makam yang dinamai sebagai Jerat Baggal adalah makam Op Djintanari yaitu opung nini dari pada Raja Djintar, dimakam tersebut kami membersihkan halaman sekelilingnya yang dipenuhi rumput liar dan dedaunan yang berserakan dilanjutkan dengan ziarah.

makam raja-raja Kerajaan Tanoh Djawa di Pamatang Tanah Jawa

Kemudian kami berjalan meninggalkan makam Raja Djintar, jerat baggal dan makam puang bolon namartuah boru damanik, kami masih menemukan kumpulan makam-makam lainnya dari keluarga kerajaan yang letaknya terpisah dengan ketiga makam yang telah kami ziarahi. 

Tampak palas/umpak batu pondasi bekas Istana/Rumah Bolon Kerajaan Tanoh Jawa di huta Pamatang Tanoh Jawa

Kami berjalan mengikut dibelakang Ando Sinaga dan Oki Sinaga sebagai pemandu jalan, setelah jalan memutar disekitar ladang jagung kami menemukan palas/umpak pondasi bekas istana/rumah bolon teronggok dibeberapa tempat, areal ini dulunya adalah tempat berdirinya istana/rumah bolon Kerajaan Tanah Jawa lama yang dikenal sebagai Huta Maligas sebelum pindah ke huta dipar (lokasi mesjid jamik yang baru dikunjungi) perjalanan dilanjutkan berbelok kekanan, tidak lama berjalan belok kekiri menurun kebawah memasuki hutan, suasananya  gelap karena dikanan kiri jalan ranting pohon diatasnya telah menyatu membuat seperti terowongan dan banyak bergelantungan tanaman latong atau daun jelatang yang apabila tersentuh tubuh akan kegatalan yang luar biasa. Kami menemukan anak tangga dari semen menanjak keatas dan sampailah kami disebuah pelataran dari semen dan di situ ditemukan Patung Panglima Bungkuk menyepi sendiri berlumut tidak terawat jauh dari keramaian menyimpan cerita sejarah Kerajaan Tanah Jawa masa lalu yang belum terkuak sepenuhnya. Didepan patung  jauh kebawah (jurang) terdengar suara air bergemerincik mengalir kesuatu arah, kemungkinan anak sungai yang bersumber dari umbul/mata air tempat dimana raja-raja dahulu kala mandi membersihkan diri atau disebut “maranggir”. Kami membersihkan halaman yang terbuat dari semen yang penuh dengan dedaunan kering yang berjatuhan, ditemukan juga tempat membakar menyan, botol dan lainnya sebagai tanda ada yang pernah kemari utk melakukan ritual pemujaan atau meminta sesuatu di lokasi ini, dan ini dibenarkan oleh Ando Sinaga bahkan patung ini pernah dicoba untuk dibawa pergi oleh orang yang tidak bertanggung jawab namun  tidak berhasil.

Perjalanan menuju Situs Panglima Bungkuk


Setelah  mengunjungi patung panglima bungkuk kami kembali ketempat semula menuju rumah Ando Sinaga yang tidak jauh dari tempat parkir mobil untuk beristirahat sejenak  sambil berdiskusi, pada waktu itu pembicaraan mengenai Konsesi  Tanah milik kerajaan Tanah Jawa yang dikontrakkan dengan Pemerintah Belanda, Ando Sinaga memperlihatkan foto kopi surat kontrak yang halamannya cukup tebal yang dibuat dengan bahasa belanda dan bahasa arab gundul (arab melayu). Suhu Omtatok menterjemahkan bahasa belanda kebahasa Indonesia, dan Farrah Sinaga putri penulis sesekali menterjemahkan bahasa arab gundul (arab melayu) ke bahasa Indonesia.

kiri: tim di lokasi situs Panglima Bungkuk, tengah & kanan : Situs Panglima Bungkuk & Farrah Aqiela br Sinaga

Setelah hilang rasa penat kami pamit kepada Ando Sinaga dan Oki Sinaga karena akan melanjutkan perjalanan menuju “Parsimagotan” (tempat suci, tempat tulang belulang 12 raja Tanah Jawa dimakamkan, nama-nama Raja tersebut tidak diketahui), kedua sinaga ini ingin  ikut juga ke lokasi parsimagotan tersebut.
 Sesampai di lokasi Parsimagotan sesuai petunjuk Mahdani Sinaga (Mahdani Sinaga lahir dan besar di daerah ini) saya tidak menemukan apa yang dibenak saya tentang Parsimagotan yang pernah diceritakan orang tua kepada penulis. Sebahagian lokasi mendekati sungai menjadi lembah bentuk seperti periuk, masih ada sedikit tanah yang tinggi yang terdapat 2 batang pohon tua, didepannya terdapat sungai bah kisat, dikejauhan terlihat pertemuan 2 sungai bah kisat dengan bah tongguran, di delta tempat bertemunya 2 sungai tersebut adalah letak istana/rumah bolon kerajaan tanah jawa, patung Panglima bungkuk dan makam raja2 yang baru saja kami kunjungi. 

"Parsimagotan yg sdh luluh lantak akibat tangan2 manusia yg tdk punya nurani, hanya mementingkan diri sendiri.

Mahdani Sinaga menceritakan kalau dulu areal ini seperti bukit kecil sampai ke pinggir sungai (sesuai dengan yang diceritakan orang tua penulis), oleh developer pembangunan perumahan yang ada diatasnya “Perumnas Tanjung Pasir” lahan ini akan diratakan, dan akan dibangun perumahan menjadi satu kesatuan dengan yang ada diatasnya. Sewaktu hendak menumbangkan kedua pohon tersebut tidak ada yang mampu bahkan dengan mempergunakan greder/beko (alat berat) kedua pohon ini tidak dapat di tumbangkan, akhirnya lokasi ini ditinggalkan begitu saja menjadikan lembah landai dan dibawahnya tepat dipinggir sungai terdapat mata air yang sangat bening, tempat ini disebut Nai Dalan Bah.

Mata air Nai Dalan Bah didepan Parsimagotan

Setelah melakukan penghormatan kepada leluhur (mencoba mengikuti sesuai tatacara penghormatan kepada leluhur masa lalu sebelum adanya agama, bukan ingin melakukan perbuatan syirik) kamipun meninggalkan lokasi Parsimagotan tersebut karena sudah lewat tengah hari.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pekan tanah jawa untuk mencari rumah makan, namun yang kami cari sesuai selera tidak kami temukan, perjalanan kami lanjutkan mengikuti jalan raya kemudian jalan berbelok kekanan menuju arah pasir mandoge, mobil yang kami tumpangi mengikuti motor yang dikendarai oleh Ando Sinaga, mendapatkan simpang di kanan jalan motor yang di kendarai Ando Sinaga membelok ke kanan memasuki areal perumahan “Perumnas Tanjung Pasir”.

Sesampai di areal perumahan yang telah dibangun kami melihat hampir seluruh rumah sudah ditempati, dan ditengah-tengah areal perumahan tersebut didapati sebuah bukit membentuk opal yang puncaknya mencapai ketinggian 4 meter dan luas keliling bukit tersebut kira-kira 200 m2. Kami menaiki puncak bukit tersebut, diatasnya terdapat sebuah makam yang menurut masyarakat setempat makam tersebut dipercaya sebagai makam Sitonggang raja setempat yang kalah bertarung dan tahtanya diambil oleh Sinaga yang menjadi Raja Kerajaan Tanoh Jawa. 

Petilasan  Sitonggang (Suhu Omtatok)

Diatas bukit tempat makam Sitonggang kami tidak terlalu lama mengingat tempat yang terbuka dan panas yang begitu teriknya, setelah turun dibawah dan berbincang sejenak dengan tokoh masyarakat di warung dalam komplek perumahan tersebut kamipun kembali ke Siantar mengingat perut yang tidak bisa diajak kompromi lagi karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore.

7 komentar:

  1. Saya Juga Sudah Pernah Berkeliling ke makam raja tanah jawa tersebut..seperti Foto foto yang tulang tunjukkan tersebut..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekilas sy baca tulisannya ada nama Radja yg pantang di sebut namanya. Apakah itu Radja oppung Muha Sinaga?

      Hapus
  2. Panglima Bungkuk dimaksud apakah laki2 ataukah perempuan ?

    BalasHapus
  3. Raja sitanggang tanoh jawa itu adalah appung leluhurku..
    Oppungku orang yg sangat sakti..
    Pada masanya.. sampai dia matipun tidak ada yg sanggup meratakan bukit dimana ia mendirikan kerajaannya...karna ilmu nya masih aktif sampai sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau boleh tau raja sitonggang itu marga apa ya?

      Hapus
    2. Diceritakan oleh keluarga kepada saya bahwa pada masa itu di Kerajaan Tanah Djawa , dari mulai Raja , Pembesar dan seterusnya : mereka itu bermarga Sinaga . Katanya disana Marga Sinaga itu terbagi dalam 3 Kelompok (golongan) dan saya termasuk : *Sinahoyong Hataran*
      *...* = Maaf jika saya keliru menuliskannya .

      Hapus