Ditulis kembali oleh : M Nur Irwansyah Sinaga, SH
Tuntunan Hidup Leluhur Tanoh Habonaran Do Bona
Simalungun
1. OPPU OPPU (Marguru Na Bonar)
Marguru Na Bonar.
Bermakna,
Belajarlah pada Kebenaran Hakiki, Kebenaran yang Memuliakan;
Bergurulah pada
Seseorang yang Tercerahkan. Pitutur ini berlapis dan kompleks.
Banyak hal yang dapat dijadikan
sebagai “guru”. Kepada alam, dunia
hewan, dunia tetumbuhan, pergaulan dengan sesama manusia, pengalaman orang
lain, kitab suci, guru di lembaga pendidikan formal, guru agama atau pribadi
tertentu yang memiliki intelegensia dan tuah tertentu. Semua hal tersebut bisa
dijadikan guru. Karena kita mendapatkan hikmah, pengajaran, perbandingan,
peringatan sehingga kita bisa memperbaharui diri kita. Kata kuncinya ‘memperbaharui’
diri.
Tentu hubungan ini tidak
statis, artinya ada upaya di dalam diri untuk melakukan ‘pemberdayaan
diri’ sehingga kita menjadi pribadi yang lebih matang dan
bahagia. Maka bergurulah kepada banyak hal.
Belajar atau berguru kepada
banyak hal, atau kepada orang tertentu bertujuan agar kita mendapat bimbingan,
petunjuk cara memberdayakan diri sehingga kita menjadi manusia yang utuh.
Manusia yang menyadari dirinya tidak terpisah dengan yang lain. Menyakiti
sesama berarti menyakiti kehidupan itu sendiri. Merusak alam berarti akan
merusak kehidupan manusia itu sendiri, karena adanya hubungan timbal balik, ada
hubungan saling memengaruhi yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Maka guru masa lampau, tetua,
Par-Tuha sering menasehati, jika tidak ingin disakiti orang lain, maka jangan
menyakiti mereka. Ada pesan moral di sini yang menekankan saling keterkaitan
itu.
Merusak hutan... maka akan berpengaruh kepada kehidupan manusia itu
sendiri.
Marguru Na Bonar menurut
pemahaman penulis berarti, menghormati nilai universal. Nilai yang dapat
diterima semua orang, karena semua mahkluk menginginkan kebaikan yang sama
pula. Misal hal yang tidak diingini banyak makhluk; meninggikan kelompok
sendiri dan menindas atau menekan kelompok lain, ini namanya egois. Egoisme
bisa berlaku universal namun bukan nilai universal. Melakukan kebaikan hanya
bagi kelompok sendiri namun merendahkan kelompok orang lain, ini juga egois.
Marguru Na Bonar berarti
melampaui keegoisan. Na Bonar itu untuk semua mahkluk –
perlu intelegensia di sini. Tidak bisa ‘kebenaran’
itu diterjemahkan untuk diri sendiri saja, ini namanya egois.
Marguru Na Bonar bermakna
melampaui keegoisan, memuliakan manusia dan menegakkan kebenaran universal;
sifatnya mempersatukan, meninggikan, memuliakan, mengutuhkan, mendorong,
memperbaiki, mengobati, memperbaharui sehingga manusia memperoleh kebahagiaan –
memuliakan manusia dan kemanusiaan.
Sehingga Marguru Na Bonar
berarti mengaktifkan satu ‘fakultas’
di dalam diri manusia yang memampukan manusia memiliki ‘ketepatan
berpikir, ketepatan berbicara, ketepatan bekerja, ketepatan melakukan hubungan
sosial’. Artinya lagi, bila cara berpikir kita selalu
mengacau, salah, egois maka belum Marguru Na Bonar. Bila berbicara selalu
sembrono, selalu menyakiti orang lain, tidak bijak, berarti belum Marguru Na
Bonar.
Bila bekerja selalu merugikan
orang lain, bekerja hanya untuk kepentingan diri saja, maka berarti belum
Marguru Na Bonar. Bila kita memiliki hubungan sosial, pergaulan dengan
orang-orang maka cepat atau lambat dapat menutupi nurani, melemahkan pikiran
sehat, maka berarti belum Marguru Na Bonar.
Jika hanya
berpengetahuan akan ‘kebenaran’ saja maka hal
tersebut tidak menjamin kita telah Marguru Na Bonar?
Pada penjelasan berikut
akan kita dapati mengapa Marguru Na Bonar ini sebagai langkah awal
menuju kebahagiaan? Bagaimana mamaknai secara tersirat dalam Pitutur Marguru
Na Bonar itu?
Kata kuncinya adalah Hukuman
dan larangan tidak selalu efektif dalam mendidik manusia. Manusia memiliki
kecerdasan yang mesti diolah.
Pada masa lampau, struktur
huta (kampung/desa) tradisional senantiasa memiliki seorang Guru. Pada unit terkecil seperti sebuah ‘huta
berbenteng’ pada masa lampau sistem kekerabatan dalam suatu huta
selalu memiliki seorang Guru yang diperankan “Tondong”
(kepala rumah tangga sebuah huta). Dari berbagai huta, jejaring huta secara
bertingkat pun memiliki seorang guru, pembimbing.
Pada masa lampau leluhur Simalungun,
seorang yang memiliki peran sebagai “Tondong”
di sebuah huta berbenteng, pasti memiliki Pedoman Prilaku sebagai Tondong.
Proses belajar dan mengajar itu merupakan satu paket. Artinya si Tondong pun
memiliki pedoman, kitab, guru yang mesti di pahaminya untuk menjalankan perannya sebagai
Tondong, Guru dalam huta itu bisa berjalan dengan baik. Sehingga huta itu
beroleh kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan. Fungsi Tondong pada struktur
masyarakat pada masa lampau adalah berperan sebagai Guru Huta –
naibata na taridah, si pangajari.
Marguru Na Bonar berarti, ada
proses “pemberdayaan diri” (makna kekinian)
agar potensi manusia itu bisa dimaksimalkan lewat proses berguru, magang,
pedoman prilaku yang ditetapkan seorang Guru, lewat tradisi dll..
Tujuannya agar memanusiakan
manusia itu sendiri, sehingga ada kesadaran universal. Manusia terhubung dengan
entitas kehidupan yang lain. Manusia menjadi bijak, agar bisa saling asah, asuh
dan asih.
2. DIDIHIL (Maruhur Na Bonar)
Maruhur Na Bonar, penulis
maknai sebagai kemampuan untuk ‘Berpikir yang Tepat’.
Cara pandang yang tepat. Kenapa penulis terjemahkan demikian? Karena kata ‘maruhur’
di sini bukan sekedar merenung, berpikir sembarang atau spontan saja. Maruhur
Na Bonar atau Berpikir Tepat, berarti ada kecerdasan yang lebih tinggi telah
bekerja. Bukan karena intelektualitas pengetahuan semata, tetapi karena intelengensianya telah bekerja memiliki pengalaman hidup yang membuat kita lebih bijak dan bijaksana. Jadi
tidak sekedar berpengetahuan saja. Namun hakekat kebenaran itu telah menjadi
bagian dari dirinya. Tidak munafik.
Makna Maruhur Na Bonar
berarti memiliki kestabilan emosi (mental emosional) yang telah matang, telah
terbangun dengan baik. Maruhur Na Bonar berarti telah memiliki intelegensia
seperti yang telah kita jelaskan di atas, memiliki pengalaman hidup dalam
menghidupi kebenaran universal. Ada pengalaman pahit, susah, trauma dan
lain-lain, namun ada pula pengalaman suka cita. Dua pengalaman; baik dan buruk,
keduanya diterima sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa ditolak salah
satunya. Baik dan buruk diterima dengan lapang dada. Intelegensia lah yang
membuat manusia mampu menerima dua kenyataan hidup ini.
Maruhur Na Bonar berarti
memiliki cinta, memiliki kepedulian, memiliki semangat untuk berbagi, semangat
melayani, semangat kebersamaan. Jika tidak, hanya akan sekedar memiliki kemampuan otak
yang tajam saja, namun tidak memiliki nurani. Setelah memiliki pengetahuan dan
kebijaksanaan maka kita bisa berpikir tepat.
Maruhur Na Bonar lewat
bimbingan seorang Guru yang mumpuni tidak akan menjadikan seseorang itu sembarangan bicara karena hidupnya telah
menjadi teladan, kitab yang hidup. Inilah kualitas seorang Guru, Par-Tuha masa
lampau. Marhur Na Bonar hanya bisa terjadi bila bertemu dengan seorang Guru Na
Bonar – Parhabonaron. Ini merupakan tahap demi tahap.
3. DANGSINA (Marhata Na Bonar)
Marhata Na Bonar berarti
Berbicara yang Tepat. Ketika berbicara kita tidak mengabaikan etika, maka yang
terjadi adalah rentetan masalah – pembuat masalah.
Marhata Na Bonar, berbicara yang tepat hanya bisa terjadi jika kita sudah
Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar. Ucapan adalah ekspresi paruhuran na bonar,
ekspresi intelektualitas yang tepat dan intelegensia.
Ketika kita hendak berbicara,
nurani kita langsung bekerja, intelegensia kita menuntun. Ini ciri orang yang
sudah Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar.
Jika masih berbicara
mengikuti emosi, tanpa pertimbangan, berarti belum Marhata Na bonar. Perkataan
adalah ‘buah’ dari intelektualitas
dan intelegensia kita. Banyak orang yang tidak memiliki intelektulitas
(berpengetahuan seperti sarjana) namun memiliki sopan santun dan kebijaksanaan.
Dengan pengetahuan yang terbatas dan sederhana pun bisa menjadi parhata na
bonar. Bahwa intelegensia itu tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan yang tinggi. Sebab, ada kecenderungan berpendidikan yang tinggi akan
memiliki ‘ego’ yang lebih halus.
Perkataan adalah buah atau
ekspresi yang ada di dalam diri. Meskipun manusia bisa memanipulasi
perkataannya seolah ia sudah berkata yang benar namun ia bisa dinilai dari
caranya bertindak dan bergaul. Kebohongan, kepalsuan tidak bisa ditutupi
selamanya.
4. TUTUDUH (Marhorja Na Bonar)
Marhorja Na Bonar, Bertindak
yang Tepat. Sekali lagi, ucapan dan tindakan adalah ekspresi ‘kesadaran’
kita. Apa yang ada di dalam diri itulah yang akan kita ekspresikan ke luar,
apakah lewat ucapan atau tindakan.
Bukti bahwa kita telah
marguru na bonar, maruhur na bonar, marhata na bonar adalah kita akan marhorja
na bonar – bertindak yang tepat. Sudah bisa memilah mana
tindakan yang tepat dan mana yang tidak. Ketepatan di sini berarti berguna bagi
diri sendiri dan orang lain bahkan lingkungan.
Tindakan yang tepat berarti
mengamalkan etika, aturan, pedoman prilaku, hukum, kejujuran, keberanian dan
lain-lain. Nyatanya pada banyak situasi kita membutuhkan keberanian dan
kekuatan mental untuk melakukan suatu kebenaran universal meski akan dijauhi
oleh orang-orang (kumpulan orang) yang egois.
Saat ini kita membutuhkan
kekuatan hasil berguru pada kebenaran hakiki, hasil paruhuran na bonar,
perkataan yang tepat, untuk bisa melakukan tindakan yang tepat. Ya, sebuah
tindakan yang tepat membutuhkan keberanian, integritas, komitmen yang sudah
terbentuk dalam diri.
Masyarakat yang dipenuhi
manusia yang tanggung dalam proses pembelajaran, proses marguru na bonar hanya
akan menciptakan masyarakat yang sakit dan munafik saja. Hal ini bisa terlihat
dalam kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Yang terbentuk hanyalah sebuah
masyarakat yang berisik, penuh konflik laten, munafik dan kebohongan massal.
Ibarat badan tanpa jiwa. Ini diakibatkan proses pedoman pertama hingga ke empat
tidak terjadi secara baik dan tepat. Sehingga kita menyebutnya masyarakat yang
sakit! Bad Company (Pergaulan yang buruk)
5. TUTUALANG (Marsaor Na Bonar)
Marsaor Na Bonar bermakna
Pergaulan yang Tepat. Maka ada anjuran Par-Tuha, bergaul lah dengan orang
bijaksana, bergaul lah dengan orang yang tepat. Jangan asal bergaul jika tak
ingin celaka. Seberapa kuatkah kita mempertahankan kewarasan diri bila
lingkungan kita dipenuhi oleh para pecandu narkoba, misalnya? Seberapa kuat dan
lamakah kita bisa tetap waras dan sadar bila berada di dalam kumpulan orang
yang senang berbohong, munafik, egois, dan fanatik dengan cara pandang mereka
saja? Jawabannya, pasti tidak lama! Karena cepat atau lambat lingkungan akan
mempengaruhi kita. Maka cepat-cepat lah memilih sebuah lingkungan kecil yang
bisa menjadi benteng terhadap pengaruh lingungan yang tidak menyehatkan.
Maka pilih lah guru yang
tepat. Guru di sini kita maknai apa pun yang bisa menginspirasi kita sehingga
memiliki kekuatan untuk mempertahankan kewarasan diri.
Marsaor Na Bonar, kita maknai
sebagai lingkungan yang tepat. Lingkungan yang menjadi support grup kita agar
kita saling asah (saling memperkaya), asuh (saling mengajari) dan asih (saling
mengasihi) demi memuliakan manusia itu sendiri. Bila ketiga hal ini (asah, asuh
dan asih) tidak ada dalam kelompok kita maka penyakit lama manusia akan segera
tumbuh subur berupa: arogansi, kepicikan, separatisme, konflik, dan kemunafikan
dll..
Dalam bahasa Buddha Gotama,
ini namanya Sangha. Kumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama untuk Marguru
Na Bonar, Maruhur Na Bonar, Marhata Na Bonar, Marhorja Na Bonar pakon Marsaor
Na Bonar, on ma goranni Huta Habonaron Do Bona. Huta na mangkahagoluhkan
habonaron ibagas tiap pikkiran, parhata pakon horjani.
Saya tidak pernah ragu, bahwa
masyarakat pendahulu Simalungun telah mencapai keadaban dan peradaban yang
tinggi. Hal ini bisa dilacak dari banyaknya pitutur luhur yang tersimpan dalam
berbagai tradisi lisan dan tulisan yang masih ada.
Demikianlah penafsiran saya
akan 5 ruhut hagoluhan di atas, semoga bermanfaat. Diatetupa ma.
Penulis :
RONI SUMBAYAK
Sauhur Simalungun, Sauhur
Indonesia, Sauhur Sabdunia on.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar