Penulis : M Nur Irwansyah Sinaga SH.
Turi-turian " Patung Silapa-lapa "
Pada zaman dahulu kala di sebuah huta yang bernama Djawa Dolog yang merupakan wilayah dari Partuanon Huta Bayu Marubun Kerajaan Tanoh Djawa hiduplah sepasang suami istri. Mereka tinggal di tepi sungai - Bah Kisat, dekat dengan hutan Sitapulak.
Si istri yang sedang mengandung anak hasil perkawinan mereka tidak lama kemudian melahirkan sepasang anak kembar, laki-laki dan perempuan.
Dengan suka cita dan penuh kasih sayang, mereka merawat dan memelihara keduanya.
Kedua anak kembar ini melalui hari-hari dengan penuh bahagia, karena orangtuanya begitu mengasihi mereka. Kemana-mana mereka selalu bersama dan saling menjaga; makan bersama, bermain bersama, tidurpun bersama dan martapian juga bersama.
Walau keduanya berlainan jenis namun kedua orangtua si anak ini tidak pernah memisahkan mereka karena keduanya adalah kembar.
Beberapa belas tahun kemudian kedua anak kembar ini tumbuh menjadi dewasa, mereka telah dapat membantu orangtuanya masing-masing.
Anak laki-laki membantu kerja orangtuanya di juma dan talun, memelihara ternak dan mengangkat air ke rumah.
Anak perempuan membantu pekerjaan ibunya di dapur dan sekali sekali membantu kerja di talun, membersihkan rumput dan rih yang tumbuh liar di sela-sela juma mereka.
Setelah kegiatan rutin mereka berakhir maka mereka akan bersama kembali margunjak, bermain dan selalu bersama.
Orangtua mereka tidak pernah mengkhawatirkan perilaku anak dan borunya karena mereka beranggapan tidak masalah sebab keduanya adalah kembar.
Pada suatu ketika saat kedua orangtua mereka tiada di rumah, karena suatu keperluan, kedua anak kembar ini tetap melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Menjelang tengah hari si anak pria menghentikan pekerjaannya dan pergi ke tapian ni paramangon yang tidak terlalu jauh dari tanuma dan membersihkan diri, setelah bersih diapun pulang ke rumah untuk makan siang dan beristirahat, dia tahu hari ini adiknya tidak dapat mengantar makan siangnya ke juma karena kedua orangtuanya tidak ada di rumah.
Sesampainya di rumah ditemuinya adik kembar perempuannya sedang memasak di dapur, didekatinya adik kembar perempuannya kemudian memeluk kembarannya dari belakang. Beberapa saat kemudian datang godaan syetan mengganggu keduanya, akhirnya terjadilah hubungan terlarang, layaknya mardawan begu.
Bersamaan dengan perbuatan incest tersebut, muncullah fenomena kemarahan alam, berupa halisungsung yang diikuti sambaran petir. Secara tiba-tiba petir yang saling menyambar masuk ke dalam rumah dan menyambar keduanya hingga mati dan menjadi hangus. Sedangkan hujan yang sangat lebat diiringi fenomena halisungsung tersebut, memunculkan banjir bandang hingga menghanyutkan dua pasangan kembar tersebut.
Beberapa waktu setelah situasi normal kembali, dan kedua orangtua si kembar kembali ke rumahnya, mereka tidak menemukan kedua anak kembarnya di rumah. Kedua suami istri ini mencari anaknya keliling kampung dan bertanya kepada penduduk namun tidak ada seorangpun yang melihat keduanya.
Kemudian kedua orangtua ini bersama sama dengan penduduk kampung pergi mencari. Setelah mencari ke sekitar juma dan memasuki harangan, tidak juga menemui keduanya. Kemudian penduduk pergi menyusuri sungai Bah Kisat. Sesampainya di sungai, penduduk sangat terkejut karena menemukan patung batu berbentuk sepasang manusia dempet saling membelakangi tertanam menyatu dengan batu-batu besar lainnya yang ada di Bah Kisat, yang selama ini tidak pernah ada dan penduduk menyakini patung batu itu adalah kedua anak kembar dari kampung mereka.
Selanjutnya Patung batu tersebut dinamakan Patung Silapalapa. Entah kenapa hingga disebut Silapapa, mungkin saja kedua insan sedarah ini disejajarkan dengan dedak kasar (lapa-lapa) yang tiada berguna, atau mungkin yang lebih masuk akal karena posisi patung tertanam dan menyatu dengan bebatuan hingga butuh dibelah (lapah-lapah) antara patung dan bebatuan.
Hikayat Patung Silapalapa ini menjadikan pelajaran buat masyarakat di sekitar huta mereka dan menjadi kebiasan pada masa lampau apabila dari sebuah keluarga lahir sepasang anak kembar maka mereka harus lebih hati-hati dan kalau bisa dipisah sejak bayi dan salah seorang dari mereka harus diserahkan kepada keluarga yang lain agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama.
Silapalapa Pindah Ke Belanda
Dr. Peter Voorhoeve seorang ahli bahasa dari Belanda yang pernah menjabat sebagai taalambtenaar (Staf Urusan Bahasa) di Simalungun tahun 1937. Ia mendengar cerita Silapalapa dari masyarakat Simalungun dan tertarik untuk melihat patung tersebut. Voohoeve pergi ke Rumah Bosar (Rumah Bolon, Istana) menghadap Radja Tanoh Djawa - Toean Sang Madjadi, setelah mengutarakan maksudnya Raja Sangmadjadi memerintahkan Voorhoeve menghadap kepada Tuan Huta Bayu Marubun yaitu Tuan Radja Ihoet Sinaga karena Patung Silapalapa ada di wilayah Partuanon Huta Bayu Marubun dan merupakan milik Partuanon Huta Bayu Marubun. Kemudian Voorhoeve pun pergilah ke Partuanon Huta Bayu Marubun. Setelah bertemu dengan Tuan Radja Ihoet Sinaga maka Voorhove mengutarakan niatnya utk menggali sejarah yang ada di wilayah itu, khususnya tentang legenda patung Silapalapa.
Kemudian Toean Radja Ihoet Sinaga membawa Voorhoeve ke Patung Silapalapa dan menceritakan hikayat patung tersebut, yang akhirnya Voorhoeve meminta izin untuk membawa patung tersebut ke Negeri Belanda untuk diadakan penelitian. Atas seizin Tuan Radja Ihoet Sinaga maka di-‘lapah-lapah’ lah patung yang menyatu dengan bebatuan itu, dengan cara dipahat, dan dizinkan dibawa ke negeri Belanda untuk dilakukan penelitian.
Pada tahun 1951 putra Tuan Radja Ihoet Sinaga bernama Mangipoek Sinaga menyurati Voorhoeve menanyakan keberadaan patung Silapalapa tersebut. Voorhoeve membalas surat tersebut dan mengatakan kalau Patung Silapalapa disimpan dan dirawat dengan baik di Museum Negeri Belanda.
Pada suatu ketika anak Tuan Radja Ihoet Sinaga yang tertua bernama Tuan Kaliamta Sinaga ke Belanda dalam rangka tugas, beliau menyempatkan diri berkunjung menemui Voorhoeve dan bersama-sama mereka pergi melihat patung Silapalapa di Rijks Museum di Amsterdaam.
Belakang ini terdengar kabar patung Silapalapa akan dikembalikan ke negeri asalnya, namun bukan diserahkan kepada Museum Simalungun yang ada di Kota Pematang Siantar, akan tetapi akan diserahkan kepada TB.Silalahi Centre yaitu Museum Batak yang didirikan oleh TB Silalahi.
Seharusnya pihak Meseum yang menyimpan patung Silapalapa di Belanda menyerahkan kembali patung Silapalapa kepada pemiliknya yaitu kepada ahli waris Tuan Huta Bayu Marubun karena Voorhoeve pada waktu itu meminjam kepada Tuan Radja Ihoet Sinaga dari Partuanon Huta Bayu Marubun untuk penelitian. Dan pihak Ahli waris dari Tuan Radja Ihoet Sinaga yang akan meyerahkan kepada Pemerintah atau kepada Museum yang layak untuk merawatnya.
Diharapkan kepada Partuha Maujana Simalungun (PMS), Usaha Penyelamatan Aset Simalungun (UPAS) dan komunitas yang peduli dengan sejarah dan budaya Simalungun, bersama-sama mendukung untuk pengembalian patung Silapalapa kembali ke Bumi Habonaron Do Bona tempat asal usul dari patung Silapalapa.*
Patung Silapa-lapa |
Pada zaman dahulu kala di sebuah huta yang bernama Djawa Dolog yang merupakan wilayah dari Partuanon Huta Bayu Marubun Kerajaan Tanoh Djawa hiduplah sepasang suami istri. Mereka tinggal di tepi sungai - Bah Kisat, dekat dengan hutan Sitapulak.
Si istri yang sedang mengandung anak hasil perkawinan mereka tidak lama kemudian melahirkan sepasang anak kembar, laki-laki dan perempuan.
Dengan suka cita dan penuh kasih sayang, mereka merawat dan memelihara keduanya.
Kedua anak kembar ini melalui hari-hari dengan penuh bahagia, karena orangtuanya begitu mengasihi mereka. Kemana-mana mereka selalu bersama dan saling menjaga; makan bersama, bermain bersama, tidurpun bersama dan martapian juga bersama.
Walau keduanya berlainan jenis namun kedua orangtua si anak ini tidak pernah memisahkan mereka karena keduanya adalah kembar.
Beberapa belas tahun kemudian kedua anak kembar ini tumbuh menjadi dewasa, mereka telah dapat membantu orangtuanya masing-masing.
Anak laki-laki membantu kerja orangtuanya di juma dan talun, memelihara ternak dan mengangkat air ke rumah.
Anak perempuan membantu pekerjaan ibunya di dapur dan sekali sekali membantu kerja di talun, membersihkan rumput dan rih yang tumbuh liar di sela-sela juma mereka.
Setelah kegiatan rutin mereka berakhir maka mereka akan bersama kembali margunjak, bermain dan selalu bersama.
Orangtua mereka tidak pernah mengkhawatirkan perilaku anak dan borunya karena mereka beranggapan tidak masalah sebab keduanya adalah kembar.
Pada suatu ketika saat kedua orangtua mereka tiada di rumah, karena suatu keperluan, kedua anak kembar ini tetap melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Menjelang tengah hari si anak pria menghentikan pekerjaannya dan pergi ke tapian ni paramangon yang tidak terlalu jauh dari tanuma dan membersihkan diri, setelah bersih diapun pulang ke rumah untuk makan siang dan beristirahat, dia tahu hari ini adiknya tidak dapat mengantar makan siangnya ke juma karena kedua orangtuanya tidak ada di rumah.
Sesampainya di rumah ditemuinya adik kembar perempuannya sedang memasak di dapur, didekatinya adik kembar perempuannya kemudian memeluk kembarannya dari belakang. Beberapa saat kemudian datang godaan syetan mengganggu keduanya, akhirnya terjadilah hubungan terlarang, layaknya mardawan begu.
Bersamaan dengan perbuatan incest tersebut, muncullah fenomena kemarahan alam, berupa halisungsung yang diikuti sambaran petir. Secara tiba-tiba petir yang saling menyambar masuk ke dalam rumah dan menyambar keduanya hingga mati dan menjadi hangus. Sedangkan hujan yang sangat lebat diiringi fenomena halisungsung tersebut, memunculkan banjir bandang hingga menghanyutkan dua pasangan kembar tersebut.
Beberapa waktu setelah situasi normal kembali, dan kedua orangtua si kembar kembali ke rumahnya, mereka tidak menemukan kedua anak kembarnya di rumah. Kedua suami istri ini mencari anaknya keliling kampung dan bertanya kepada penduduk namun tidak ada seorangpun yang melihat keduanya.
Kemudian kedua orangtua ini bersama sama dengan penduduk kampung pergi mencari. Setelah mencari ke sekitar juma dan memasuki harangan, tidak juga menemui keduanya. Kemudian penduduk pergi menyusuri sungai Bah Kisat. Sesampainya di sungai, penduduk sangat terkejut karena menemukan patung batu berbentuk sepasang manusia dempet saling membelakangi tertanam menyatu dengan batu-batu besar lainnya yang ada di Bah Kisat, yang selama ini tidak pernah ada dan penduduk menyakini patung batu itu adalah kedua anak kembar dari kampung mereka.
Selanjutnya Patung batu tersebut dinamakan Patung Silapalapa. Entah kenapa hingga disebut Silapapa, mungkin saja kedua insan sedarah ini disejajarkan dengan dedak kasar (lapa-lapa) yang tiada berguna, atau mungkin yang lebih masuk akal karena posisi patung tertanam dan menyatu dengan bebatuan hingga butuh dibelah (lapah-lapah) antara patung dan bebatuan.
Hikayat Patung Silapalapa ini menjadikan pelajaran buat masyarakat di sekitar huta mereka dan menjadi kebiasan pada masa lampau apabila dari sebuah keluarga lahir sepasang anak kembar maka mereka harus lebih hati-hati dan kalau bisa dipisah sejak bayi dan salah seorang dari mereka harus diserahkan kepada keluarga yang lain agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama.
Silapalapa Pindah Ke Belanda
Dr. Peter Voorhoeve seorang ahli bahasa dari Belanda yang pernah menjabat sebagai taalambtenaar (Staf Urusan Bahasa) di Simalungun tahun 1937. Ia mendengar cerita Silapalapa dari masyarakat Simalungun dan tertarik untuk melihat patung tersebut. Voohoeve pergi ke Rumah Bosar (Rumah Bolon, Istana) menghadap Radja Tanoh Djawa - Toean Sang Madjadi, setelah mengutarakan maksudnya Raja Sangmadjadi memerintahkan Voorhoeve menghadap kepada Tuan Huta Bayu Marubun yaitu Tuan Radja Ihoet Sinaga karena Patung Silapalapa ada di wilayah Partuanon Huta Bayu Marubun dan merupakan milik Partuanon Huta Bayu Marubun. Kemudian Voorhoeve pun pergilah ke Partuanon Huta Bayu Marubun. Setelah bertemu dengan Tuan Radja Ihoet Sinaga maka Voorhove mengutarakan niatnya utk menggali sejarah yang ada di wilayah itu, khususnya tentang legenda patung Silapalapa.
Kemudian Toean Radja Ihoet Sinaga membawa Voorhoeve ke Patung Silapalapa dan menceritakan hikayat patung tersebut, yang akhirnya Voorhoeve meminta izin untuk membawa patung tersebut ke Negeri Belanda untuk diadakan penelitian. Atas seizin Tuan Radja Ihoet Sinaga maka di-‘lapah-lapah’ lah patung yang menyatu dengan bebatuan itu, dengan cara dipahat, dan dizinkan dibawa ke negeri Belanda untuk dilakukan penelitian.
Pada tahun 1951 putra Tuan Radja Ihoet Sinaga bernama Mangipoek Sinaga menyurati Voorhoeve menanyakan keberadaan patung Silapalapa tersebut. Voorhoeve membalas surat tersebut dan mengatakan kalau Patung Silapalapa disimpan dan dirawat dengan baik di Museum Negeri Belanda.
Pada suatu ketika anak Tuan Radja Ihoet Sinaga yang tertua bernama Tuan Kaliamta Sinaga ke Belanda dalam rangka tugas, beliau menyempatkan diri berkunjung menemui Voorhoeve dan bersama-sama mereka pergi melihat patung Silapalapa di Rijks Museum di Amsterdaam.
Belakang ini terdengar kabar patung Silapalapa akan dikembalikan ke negeri asalnya, namun bukan diserahkan kepada Museum Simalungun yang ada di Kota Pematang Siantar, akan tetapi akan diserahkan kepada TB.Silalahi Centre yaitu Museum Batak yang didirikan oleh TB Silalahi.
Seharusnya pihak Meseum yang menyimpan patung Silapalapa di Belanda menyerahkan kembali patung Silapalapa kepada pemiliknya yaitu kepada ahli waris Tuan Huta Bayu Marubun karena Voorhoeve pada waktu itu meminjam kepada Tuan Radja Ihoet Sinaga dari Partuanon Huta Bayu Marubun untuk penelitian. Dan pihak Ahli waris dari Tuan Radja Ihoet Sinaga yang akan meyerahkan kepada Pemerintah atau kepada Museum yang layak untuk merawatnya.
Diharapkan kepada Partuha Maujana Simalungun (PMS), Usaha Penyelamatan Aset Simalungun (UPAS) dan komunitas yang peduli dengan sejarah dan budaya Simalungun, bersama-sama mendukung untuk pengembalian patung Silapalapa kembali ke Bumi Habonaron Do Bona tempat asal usul dari patung Silapalapa.*
editing narasi : Suhu Omtatok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar