MAROEBOEN

Maroeboen adalah nama sebuah Partuanon di Harajaon Tanoh Djawa, Simaloengoen pada masa jaman Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.

Rabu, 19 September 2012

Habonaron Do Bona

Posted by : M Nur Irwansyah Sinaga SH.


Nilai-Nilai Luhur dalam Ajaran Habonaron Do Bona 
Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron Do Dona. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk Simalungun. Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Di bawah ini secara singkat ajaran-ajaran dari kepercayaan Habonaron Do Bona.

Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam
Menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu (sada) dan Maha Kuasa (Namar Kuasa/Namar Huasa). Karena Naibata adalah awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan-Nya. Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan yang disukainya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau), Pernolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya.

Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki (dalahi) dan perempuan (daboru/naboru). Sejak diciptakan, manusia telah dilengkapi dengan roh. Perkembangan manusia selanjutnya adalah karena di samping kehendak manusia itu sendiri juga atas sabda Tuhan. Kematian yang dialami oleh manusia terjadi ketika roh berpisah dengan badan selamanya. Roh kemudian hidup kekal di suatu alam kehidupan bersama Tuhan Yang Maha Esa. Roh manusia yang masih hidup disebut sebagai tondi, sedangkan manusia yang sudah mati rohnya disebut sumagot.

Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur. Bencana Banjir (halonglongan), gampa bumi (sohul-sohul), angin ribut (aliogo doras), petir (porhas), kegagalan panen, wabah penyakit dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Tugas dan Kewajiban Manusia
Sebagai konsekuensi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka manusia mempunyai kewajiban dalam hidup di dunia ini baik tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, sesamanya maupun terhadap alam. Demikian ajaran Habonaron Do Bona.

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa warga Habonaron Do Bona wajib untuk selalu ingat kepada-Nya dan setiap hari menyembah kepada-Nya. Pada bulan besar (bittang baggal) wajib melaksanakan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada leluhur. Di samping itu ajaran Habonaron Do Bona juga mewajibkan untuk menghormati dan menjiarahi makam leluhur (manembah Suamgot dan mengurus pandawanan na hanlobei).

Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat. Warga Habonaron Do Bona mengenal bermacam-macam upacara seperti:

1. Upacara dauh hidup.

2. Upacara membongkar tulang belulang.

3. Upacara pesta tuan (Robu-robu/Harja Tuan), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan.

4. Upacara memasuki rumah baru.

5. Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar parsakutuan).

6. Upacara menghormati roh suci penjaga desa.

7. Upacara menghormati keramat pelindung (mambere simumbah).

Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti: jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri.

Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan larangan-larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur (hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur).

2. Menghormati guru (hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar).

3. Membantu orang lain (manappati).

4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan.

5. Tidak boleh kimpoi semarga (ulang marboto-boto).

6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai berwarna kuning (ulang iaben manetek iluhni halak magorsing).

7. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).

8. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi).

9. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).

10. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai).

11. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).

12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto otoi/ulang mangkhianat).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam (ulang massedai). Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro (mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat padi sedang bunting), memutik (mendoakan saat padi sudah menguning), menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat) dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul).

Demikian uraian singkat ajaran Habonaron Do Bona, yang merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ajaran Habonaron Do Bona merupakan nilai-nilai yang mampu membentuk pribadi manusia sehingga menjadi insan yang berbudi luhur.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
Sistem Kekerabatan 
Banyak ragam Partuturan ni Halak Simalungun. Dari berbagai ragam partuturan yang jamak adanya, pengaruh etnis lain yang letaknya berbatasan dengan wilayah Simalungun, terasa sulit dielakkan.

Setuju ataupun tidak, nyatanya Batak Toba cukup berhasil mewarnai pemakaian kosa kata di Sumatera Utara. Entah karena kemampuan adaptasi masyarakat Simalungun, mungkin karena malu, ketidak tahuan, atau malah tidak mau tahu, banyak masyarakat Simalungun lebih familiar menggunakan kosa kata Batak Toba ketimbang menggunakan kosa kata Simalungun yang lebih santun.

Kata Hiou untuk menyebut kain adat Simalungun, nyatanya lebih sering digunakan kata Ulos. Bahkan tidak sedikit partuturan Batak Toba dipergunakan dikalangan Halak Simalungun. Anehnya, Kaum tualah yang mengajarkan perusakkan ini kepada generasi muda Simalungun. Jika tidak segera disikapi, saya berkeyakinan, tutur kekerabatan Simalungun akan tinggal dalam tulisan-tulisan saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar