Oleh : M Nur Irwansyah Sinaga SH
Pagi itu tanggal 1 Mei 2011, sambil menunggu
rekan-rekan yang akan ikut menemani menelusuri situs Harajaon Tanoh jawa, kami
menyantap, sarapan yang disediakan hotel tempat kami menginap. Selesai sarapan
kamipun siap berangkat karena rekan-rekan yang ditunggu sudah pada kumpul.
Saya,
Suhu Omtatok, Ida Damanik Halanita, Mahdani Sinaga, Farrah Aqiela Sinaga putri
bungsu saya serta seorang supir dengan menggunakan mobil botou Ida Damanik
meluncur di jalanan kota, sesampainya di
Pasar Horas Pematang Siantar kami berhenti untuk membeli keperluan yang
dibutuhkan.
Perjalananpun
dilanjutkan meninggalkan kota menuju arah Tanah Jawa, sebuah kota Kecamatan di
Kabupaten Simalungun, Prov Sumatera Utara.
Setengah
jam perjalanan tibalah kami di daerah Kecamatan Tanah Jawa, mendapatkan simpang
jalan disebelah kanan, Mahdani Sinaga memberi aba-aba kepada supir utk
membelok. Suhu Omtatok minta berhenti untuk keluar dari mobil, sayapun turut
keluar dari mobil dan inilah pertama kali saya menjejajakkan kaki diwilayah ini.
Saya mengeluarkan kamera Slr dan membidik kearah nama jalan yaitu Jalan
Sangmajadi. Sangmajadi adalah nama Raja Tanah Jawa ayah dari pemangku Kerajaan
Tanah Jawa terakhir yaitu Raja Kaliamsjah Sinaga.
Kiri : Jalan Sang Majadi, kanan: Mesjid jamik bekas tapak Istana Kerajaan Tanah Jawa |
Kemudian
kami menelusuri jalan tersebut lebih kurang 100 meter kedalam sampailah kami di
Mesjid Jamik. Dahulu tapak mesjid ini merupakan Istana/Rumah Bolon Kerajaan
Tanah Jawa yang dibangun ketika Raja Djintar diangkat menjadi raja karena
Istana yang lama di huta Pamatang Tanoh Jawa (biasa disebut Pamatang) sudah tidak layak lagi di jadikan istana
karena sudah sangat tua dan sudah dihuni sampai 3 generasi dan tempat bangunan
yang baru istana ini disebut huta dipar (desa diseberang). Pada tahun 80an oleh
seluruh keturunan kerajaan Tanah Jawa sepakat lokasi ini dibangun mesjid karena
istana sudah hancur dan rubuh.
Kami
lanjutkan berjalan kaki ke samping mesjid lebih kurang 50 meter kami sampai di
lokasi pemakaman yang di bertembok batu bata keliling kira-kira 9 x 15 m dan berpintu besi, kelihatan dari luar
tembok baru di cat dan makam didalamnya baru dipugar berlantai keramik dan
makam-makam yang ada di dalam juga di beri keramik berwarna hijau.
Informasi
yang kami terima bahwa orang terpenting di Simalungun ini yang membiayai
pemugaran makam ini. Setiba didalam makam kami berziarah ke makam opung
Sangmadjadi Sinaga dilanjutkan ke makam yang lainnya, diataranya makam puang
salak dan Tuan Kalam.
Budayawan Suhu Omtatok & Mahdani Sinaga membersihkan makam dan memberi hormat di Makam Op Sangmadjadi |
Selesai
ziarah kamipun naik ke mobil yang diparkir di mesjid dan melanjutkan perjalan,
sopir mengarahkan kendaraan kembali kejalan raya dan berbelok kekanan, tak jauh
berjalan kami mendapatkan kantor Kecamatan Tanah Jawa dan atas petunjuk rekan mobil
berbelok ke kanan jalan yang berada disamping kantor kecamatan kemudian
melewati jembatan sungai Bah Kisat sampailah kami di areal kebun sawit dan
mobil berhenti, kami disambut oleh 2 orang yang masih keturunan dari keluarga
Kerajaan yang bernama Ando Sinaga (Fernando) dan Okki Sinaga . Perjalanan kami
lanjutkan dengan berjalan kaki. Kami menelusuri kebun sawit yang sudah berumur
20 tahunan yang rindang membuat perjalanan lumayan sejuk walau jalan sedikit
mendaki. Disepanjang jalan banyak ditemukan pecahan keramik/guci kuno
berdasarkan informasi dulunya guci/keramik kuno ini adalah barang barang milik
kerajaan/istana yang pada masa revolusi sosial tahun 1946 oleh pasukan Barisan
Harimau Liar (BHL) istana di geledah mencari raja dan keluarganya untuk dibunuh
dan harta benda yang terdapat diistana dirampok, sebahagian barang-barang
tersebut yang terbuat dari pecah belah hancur dan berserakan di sepanjang
jalan.
Bunga kamboja putih dibatu nisan Puang Bolon Namartuah boru Damanik (foto Farrah Aqiela br Sinaga) |
Iringan rombongan kemudian berbelok kekiri mengikuti
pemandu jalan oleh 2 orang sinaga tempatan tersebut. Setelah menerobos ladang
jagung sampailah kami disebuah makam. Ando Sinaga mengatakan ini adalah Jerat Baggal (makam
besar) tetapi dia tidak tau siapa yang dimakamkan disitu karena dari dahulu
mereka pantang menyebutkan nama orang yang paling dihormati sehingga generasi
berikutnya tidak mengetahuinya, setelah berziarah dijerat baggal kami melanjutkan
ke makam didekatnya. Menurut Suhu Omtatok (budayawan) makam ini adalah makam
seorang wanita tetapi melihat batu nisannya (nisan kuno) menandakan yang
dimakamkan disini adalah seorang raja sementara Ando Sinaga dan Oki Sinaga juga
tidak mengetahui siapa yang dimakamkan disitu, dibatu nisan tidak ada tertulis
nama orang yang dimakamkan tersebut. Ando Sinaga mengatakan makam yang satunya lagi adalah makam Raja Djintar, tidak salah lagi berdasarkan data yang
ada sama penulis Raja Djintar dimakamkan didekat nininya puang bolon
namartuah boru Damanik yang pernah
menjabat sebagai pemangku Kerajaan Tanah Jawa selama 2 tahun karena raja meninggal dunia dan tidak jauh dari makam tersebut makam yang dinamai sebagai Jerat Baggal adalah makam Op Djintanari yaitu
opung nini dari pada Raja Djintar, dimakam tersebut kami membersihkan
halaman sekelilingnya yang dipenuhi rumput liar dan dedaunan yang berserakan
dilanjutkan dengan ziarah.
makam raja-raja Kerajaan Tanoh Djawa di Pamatang Tanah Jawa |
Kemudian kami berjalan meninggalkan makam Raja
Djintar, jerat baggal dan makam puang bolon namartuah boru damanik, kami masih
menemukan kumpulan makam-makam lainnya dari keluarga kerajaan yang letaknya
terpisah dengan ketiga makam yang telah kami ziarahi.
Tampak palas/umpak batu pondasi bekas Istana/Rumah Bolon Kerajaan Tanoh Jawa di huta Pamatang Tanoh Jawa |
Kami berjalan mengikut
dibelakang Ando Sinaga dan Oki Sinaga sebagai pemandu jalan, setelah jalan
memutar disekitar ladang jagung kami menemukan palas/umpak pondasi bekas
istana/rumah bolon teronggok dibeberapa tempat, areal ini dulunya adalah tempat
berdirinya istana/rumah bolon Kerajaan Tanah Jawa lama yang dikenal sebagai
Huta Maligas sebelum pindah ke huta dipar (lokasi mesjid jamik yang baru
dikunjungi) perjalanan dilanjutkan berbelok kekanan, tidak lama berjalan belok kekiri
menurun kebawah memasuki hutan, suasananya
gelap karena dikanan kiri jalan ranting pohon diatasnya telah menyatu
membuat seperti terowongan dan banyak bergelantungan tanaman latong atau daun
jelatang yang apabila tersentuh tubuh akan kegatalan yang luar biasa. Kami
menemukan anak tangga dari semen menanjak keatas dan sampailah kami disebuah
pelataran dari semen dan di situ ditemukan Patung Panglima Bungkuk menyepi
sendiri berlumut tidak terawat jauh dari keramaian menyimpan cerita sejarah
Kerajaan Tanah Jawa masa lalu yang belum terkuak sepenuhnya. Didepan
patung jauh kebawah (jurang) terdengar
suara air bergemerincik mengalir kesuatu arah, kemungkinan anak sungai yang
bersumber dari umbul/mata air tempat dimana raja-raja dahulu kala mandi
membersihkan diri atau disebut “maranggir”. Kami membersihkan halaman yang
terbuat dari semen yang penuh dengan dedaunan kering yang berjatuhan, ditemukan
juga tempat membakar menyan, botol dan lainnya sebagai tanda ada yang pernah
kemari utk melakukan ritual pemujaan atau meminta sesuatu di lokasi ini, dan
ini dibenarkan oleh Ando Sinaga bahkan patung ini pernah dicoba untuk dibawa
pergi oleh orang yang tidak bertanggung jawab namun tidak berhasil.
Perjalanan menuju Situs Panglima Bungkuk |
Setelah
mengunjungi patung panglima bungkuk kami kembali ketempat semula menuju
rumah Ando Sinaga yang tidak jauh dari tempat parkir mobil untuk beristirahat
sejenak sambil berdiskusi, pada waktu
itu pembicaraan mengenai Konsesi Tanah
milik kerajaan Tanah Jawa yang dikontrakkan dengan Pemerintah Belanda, Ando
Sinaga memperlihatkan foto kopi surat kontrak yang halamannya cukup tebal yang dibuat dengan
bahasa belanda dan bahasa arab gundul (arab melayu). Suhu Omtatok
menterjemahkan bahasa belanda kebahasa Indonesia, dan Farrah Sinaga putri penulis
sesekali menterjemahkan bahasa arab gundul (arab melayu) ke bahasa Indonesia.
kiri: tim di lokasi situs Panglima Bungkuk, tengah & kanan : Situs Panglima Bungkuk & Farrah Aqiela br Sinaga |
Setelah hilang rasa penat kami pamit kepada Ando
Sinaga dan Oki Sinaga karena akan melanjutkan perjalanan menuju “Parsimagotan”
(tempat suci, tempat tulang belulang 12 raja Tanah Jawa dimakamkan, nama-nama
Raja tersebut tidak diketahui), kedua sinaga ini ingin ikut juga ke lokasi parsimagotan tersebut.
Sesampai di
lokasi Parsimagotan sesuai petunjuk Mahdani Sinaga (Mahdani Sinaga lahir dan
besar di daerah ini) saya tidak menemukan apa yang dibenak saya tentang
Parsimagotan yang pernah diceritakan orang tua kepada penulis. Sebahagian lokasi
mendekati sungai menjadi lembah bentuk seperti periuk, masih ada sedikit tanah
yang tinggi yang terdapat 2 batang pohon tua, didepannya terdapat sungai bah
kisat, dikejauhan terlihat pertemuan 2 sungai bah kisat dengan bah tongguran,
di delta tempat bertemunya 2 sungai tersebut adalah letak istana/rumah bolon
kerajaan tanah jawa, patung Panglima bungkuk dan makam raja2 yang baru saja
kami kunjungi.
"Parsimagotan yg sdh luluh lantak akibat tangan2 manusia yg tdk punya nurani, hanya mementingkan diri sendiri. |
Mahdani Sinaga menceritakan kalau dulu areal ini
seperti bukit kecil sampai ke pinggir sungai (sesuai dengan yang diceritakan
orang tua penulis), oleh developer pembangunan perumahan yang ada diatasnya
“Perumnas Tanjung Pasir” lahan ini akan diratakan, dan akan dibangun perumahan menjadi
satu kesatuan dengan yang ada diatasnya. Sewaktu hendak menumbangkan kedua
pohon tersebut tidak ada yang mampu bahkan dengan mempergunakan greder/beko
(alat berat) kedua pohon ini tidak dapat di tumbangkan, akhirnya lokasi ini
ditinggalkan begitu saja menjadikan lembah landai dan dibawahnya tepat
dipinggir sungai terdapat mata air yang sangat bening, tempat ini disebut Nai
Dalan Bah.
Mata air Nai Dalan Bah didepan Parsimagotan |
Setelah melakukan penghormatan kepada leluhur (mencoba
mengikuti sesuai tatacara penghormatan kepada leluhur masa lalu sebelum adanya
agama, bukan ingin melakukan perbuatan syirik) kamipun meninggalkan lokasi
Parsimagotan tersebut karena sudah lewat tengah hari.
Kemudian
kami melanjutkan perjalanan ke pekan tanah jawa untuk mencari rumah makan,
namun yang kami cari sesuai selera tidak kami temukan, perjalanan kami lanjutkan
mengikuti jalan raya kemudian jalan berbelok kekanan menuju arah pasir mandoge,
mobil yang kami tumpangi mengikuti motor yang dikendarai oleh Ando Sinaga,
mendapatkan simpang di kanan jalan motor yang di kendarai Ando Sinaga membelok
ke kanan memasuki areal perumahan “Perumnas Tanjung Pasir”.
Sesampai
di areal perumahan yang telah dibangun kami melihat hampir seluruh rumah sudah
ditempati, dan ditengah-tengah areal perumahan tersebut didapati sebuah bukit
membentuk opal yang puncaknya mencapai ketinggian 4 meter dan luas keliling bukit
tersebut kira-kira 200 m2. Kami menaiki puncak bukit tersebut, diatasnya
terdapat sebuah makam yang menurut masyarakat setempat makam tersebut dipercaya
sebagai makam Sitonggang raja setempat yang kalah bertarung dan tahtanya diambil
oleh Sinaga yang menjadi Raja Kerajaan Tanoh Jawa.
Petilasan Sitonggang (Suhu Omtatok) |
Diatas
bukit tempat makam Sitonggang kami tidak terlalu lama mengingat tempat yang
terbuka dan panas yang begitu teriknya, setelah turun dibawah dan berbincang
sejenak dengan tokoh masyarakat di warung dalam komplek perumahan tersebut
kamipun kembali ke Siantar mengingat perut yang tidak bisa diajak kompromi lagi
karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore.